Inez, who studies under professor of radiology Srikantan Nagarajan, PhD, has uncovered something previously unknown: that when people hear themselves speak they subconsciously and actively correct the sound of their vowels. “This is a small, but sure step toward an integrated understanding of how the brain controls speech in general. And hopefully in the future we can help everybody with speech impediments, including those who stutter, to produce beautiful, intelligible speech,” she said. An integral part of the Grad Slam experience is the enthusiasm of an audience of peers, who hold up encouraging signs and banners between the talks. “I could feel that the audience was engaged and could understand what I was saying, and I really appreciated that,” said Inez.
Spring 2015 Expo
Best Design Project Team: Shunt Doubles
Team members: Sanjay Sridaran, Yitian Xiao, Shahram Kazemi,
Hoang Nguyen and Inez Raharjo
|
Goergia Tech East Campus, Atlanta USA
From LIBERTAS CONCERT - ANANDA SUKARLAN
Puisi: Hasan Aspahani; Komposisi Musik: Ananda Sukarlan; Piano: Ananda Sukarlan; Sopran: Aning Katamsi; Flute: Elizabeth Ashford; Violin: Inez Raharjo; Kreografer: Chendra Panatan
Penari: Susi Mariah; Siko Setyanto; Hillarian Ananda; Achmad Hilmi, Ayok
Minggu, 3 Januari 2010
Graha Bhakti Budaya - Taman Ismail Marzuki
Batik by www.allurebatik.com
Bibirku Bersujud di Bibirmu adalah musik tari yang didasari oleh puisi Hasan Aspahani. Tak seperti judulnya, puisi ini jauh dari sensual. Puisi ini berkisah tentang cinta dan kehancuran yang diilhami oleh tsunami Aceh 2004, ketika lautan yang membentuk tsunami jatuh menyentuh tanah dan akhirnya meluluhlantakkan bibir pantai utara Sumatera. Bibirku bersujud di Bibirmu ditampilkan pertama kalinya pada JAKARTA NEW YEAR'S CONCERT 2010 sebagai world premiere.
Hasan Aspahani - Bibirku Bersujud di Bibirmu
Wahai, pelayar malam, tiga kapal karam, masam dendam
apa lagi yang kau pendam, sebelum semuanya tenggelam?
Kita pun kehilangan ombak, pasir dan berabad rakaat,
terlelap dalam perangkap, sekejap malam yang cacat.
Tanpa sujud, bagaimana menyebut ini sebuah tahajud.
Aduhai laut yang mengenal semua kapal, kau tahukah?
Pada separuh luruh usia tubuh, ada sepertiga subuh
yang tak pernah hendak menunggu jangkarmu berlabuh.
Dan pada lipatan pantai sajadah yang tak lagi basah
Tajam musimmu makin meranjau: aku kian kemarau
Aku masih sabar menunggu, kau kirim tanda zikir-zikir,
Semakin mendekat gemetar bibir, pada persujudan pasir,
rukuk musafir, sampai mengerti isyarat ombak terakhir.
Kau bertanya: hauskah?
- Aku jawab: ya, beri aku air
Kau bertanya: haruskah?
- Aku minta: atau sebaiknya kau usir
Siapa yang menangis di dermaga? Siapa menghangatkan
laut dengan airmata? Siapa yang melambai di atas palka?
Siapa yang menghentak kaki berlari ke surut samudera?
Siapa mengarak riak jadi mahagelombang maharaksasa?
Aku semakin tak sanggup. Dengar. Dendang itu semakin sayup:
kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
kenapa harus gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
gelombang,
kenapa harus gelombang.
Bibirku bersujud di bibirmu, lalu kita lafazkan zikir pasir.
Bibirku bersujud di bibirmu, hampar mulut yang pesisir.
Bibirku bersujud di bibirmu, pagut sebutir pungut sebutir.
No comments:
Post a Comment